Dua bulan lalu, aku membuat
tulisan blog pertama tentang travelling, kini aku melanjutkan mengisi blog ini dengan tulisan tentang jalan-jalan lagi. Aku merenungkan bagaimana caraku berjalan-jalan: haruskah aku online atau offline?
***
Liburan secara
offline, artinya ketika aku sedang berlibur atau berjalan-jalan, aku tidak menggunakan internet, baik di komputer maupun di smartphone. Dengan offline, aku tidak menyambung ke Instagram, Facebook, Twitter, Path, dll hanya demi laporan
on-the-spot. Aku juga tidak menggunakan Google Maps dan aplikasi peta lainnya di smartphone, hanya demi mencari lokasi tujuan. Aku juga tidak membaca postingan orang lain di social media ketika sedang liburan. Juga tidak buka email ketika berlibur. Jadi dengan
offline, aku murni konsentrasi berlibur dan sintas (survive) tanpa bantuan internet.
Keuntungan dari liburan
offline, adalah seseorang bisa fokus berlibur atau jalan-jalan. Seluruh jiwa dan raga bisa fokus di ruang dan tempat ia berpijak. Tidak ada buka-buka email pribadi maupun kantor. Jadi kalau liburan kaga perlu ikut debat susu formula, pilpres dan obrolan kapan kawin di milis maupun di social media. Oh, ya, liburan offline juga membuatmu belajar teknik penting untuk tidak menjawab telpon tawaran kartu kredit. Mengangkat telpon itu mahal, lho, kalau dalam roaming internasional. Nah, terapkan teknik ini sepulangnya ke Indonesia.
Keuntungan lain dari liburan
offline adalah bisa dapat pengalaman survival. Kalau tersesat, mau tidak mau, harus beli peta yang bagus di lokasi atau nanya orang di jalan. Ada pengalaman asyik, nanya sama orang yang memiliki bahasa ibu yang berbeda. Orang Eropa biasanya cuma tahu jalan dan transportasi dari rumah ke tempat kerja, tapi kaga tahu selain itu. Tapi banyak yang berusaha membantu, ketika ditanya. Jadi kalau travelling di Eropa, kemampuan baca peta murahan di tangan maupun peta di halte bus/trem/stasiun itu penting. Ada juga orang yang tahu jalan, tapi ketika kita nanya jalan, dia tidak bisa bahasa Inggris atau Indonesia. Jadinya bahasa tubuh dan mencoret-coret di tanah bisa jadi bahasa pemersatu. Oh, ya, aku teringat orang Indonesia yang cuma bisa bahasa Jawa dan Indonesia lalu menangis-nangis panik ketika tersesat di suatu kampung di Perancis ketika ketinggalan bus rombongan.
Kerugian dari liburan
offline, adalah persiapan liburan harus dilakukan secara matang. Lokasi apa saja yang ingin dikunjungi. Bagaimana jalur dari tempat menginap ke lokasi ke pariwisata. Bagaimana memanfaatkan waktu dari tempat ini ke tempat itu lalu kembali ke penginapan. Bagaimana mencari tiket transportasi murah, dll. Oh, ya, catatan perjalanan harus diprint dan kumpulan kertas itu kaga ringan. Koper kan juga butuh diisi dengan oleh-oleh. Mau tidak mau, kita bikin sampah kertas: peta dan catatan kadang harus dibuang demi koper yang ringan sekembalinya kita dari liburan. Kerugian lain, adalah kita terlibat dalam kerusakan lingkungan dengan memboroskan kertas.
***
Liburan secara
online, artinya ketika travelling kita tetap menyambung dengan internet dan menggunakan aplikasi smartphone. Ketika ingin pergi dari sini ke sana, Google Maps siap membantu: bukan hanya jalurnya tapi juga harga tiketnya. Kalau lagi kaga ide mau ke mana, TripAdvisor siap membantu. Biar up-to-date, Foursquare, Instagram, Facebook, Twitter, dkk siap membantu kenarsisan kita.
Keuntungan liburan
online, kita tidak perlu membawa peta. Google Maps siap membantu. Aplikasi transportasi kota juga ada yang bisa dipakai. Oh, ya, tips penting adalah kita tahu nama perusahaan transportasi di kota yang kita tuju. Jadinya kita bisa membuka website-nya dan mungkin juga mengunduh aplikasinya, yang biasanya lebih baik daripada Google Map. Selain jalur sini-sana, kita bisa tahu harga tiket transportasi.
Keuntungan liburan
online, kita bisa bikin laporan on-the-spot di social media yang kita miliki. Hal ini kadang penting buat blogger yang punya niche di bidang travelling. Bokap-nyokap yang khawatir bisa dihibur dengan foto-foto liburan via Facebook, Instagram, Whatsapp, dll seketika juga. Udah itu, kita bisa memuaskan gairah narsisme kita dari "Like" dan komentar kenalan-kenalan kita di social media.
Keuntungan liburan
online, adalah kita tidak perlu membuat rencana detail liburan. Kalau lagi tidak ada ide mau ke mana, aplikasi travelling seperti TripAdvisor siap membantu.
Kerugian liburan
online adalah kebutuhan akan charger dan coverage sinyal yang kadang mengganggu kenyamanan. Kadang lekukan indah arsitektur Romantik dan ketegasan arsitektur Barok tidak bisa dinikmati karena kita sibuk berpikir "Aduh, low bat! Harus cari kafe atau restoran buat colok charger". Kadang semilir angin lembah pegunungan dan birunya langit tidak membuat kita ingin tidur di atas bunga-bunga warna-warni karena kita terlalu sibuk memikirkan "Anjrit! Kaga ada sinyal, euy! Kaga bisa buka Google Maps, euy!"
***
Oh, ya, seperti apa liburan yang kuinginkan?
Online atau offline? Pada dasarnya, aku pergi travelling dalam rangka "tapa mlaku" dan membebaskan diriku dari dunia online. Aku ingin merasakan perjalanan spiritual yang mengembalikan fitrahku sebagai manusia yang bisa sintas (survive) tanpa perlu internet dan aplikasi online. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang membuatku harus tersambung lagi ke internet: beli tiket museum dengan jadwal asyik, tidak tahu di mana mengambil peta gratisan, tidak tahu jadwal kereta, beli tiket murah, dll.
Hal yang menarik tahun ini, aku pergi travelling atas nasihat kawanku yang berprinsip jalan-jalan harus offline. Akan tetapi aku bertemu kawanku yang berprinsip liburan tetap online, walau cuma menggunakan aplikasi Google Maps dan TripAdvisor doang untuk navigasi. Selain itu, foto-fotonya harus ada geo-tagging, sedangkan aku mematikan geo-tagging karena aku tidak suka kalau foto digital terlalu banyak memberi informasi pada metadata.
Baik online maupun offline, semoga travelling membuat hidup semakin bermakna.
Dear pembaca, jadi mending jalan-jalan online atau offline, ya?
Bremen, 17 Desember 2014
iscab.
saptocondro
"Dalam suatu
perjalanan, libatkan dirimu dalam
bicara."